15.12.10

ARTIKEL ANAK KATA-KATA

KATA-KATA ANAK KATA-KATA


Bagaimanapun bentuknya, ini adalah kumpulan kata-kata yang aku buat dengan spontan tanpa bayak pikir atau pertimbangan-pertimbangan apapun. Semua terlahir begitu saja dengan derasnya, tanpa bisa kubendung. Karena itu ucapan terima kasih hanya pantas kuberikan kepada lembaran-lembaran kosong ini, yang telah sabar bersedia untuk aku tumpahi dengan kata-kataku tanpa banyak protes ,berontak atau menuntut apapun.
Entah kata-kata ini disebut apa, aku juga tidak tahu. Tidak penting. Yang aku tahu hanya menumpahkan kata-kata tanpa keterikatan akan aturan-aturan apapun.
Ini adalah sebagian dari sesuatu yang sebenarnya kuanggap sebagai anakku. Karena telah terlahir, maka Ia berhak untuk berbicara dan bercerita sendiri tentang dirinya kepada siapapun tanpa harus sesuai dengan keinginanku.


Hidup bukan untuk dipikirkan tapi untuk dijalani.
Hidup hanyalah pilihan diantara pilihan dan banyak pilihan
Meski terkadang pilihan itu karena keterpaksaan

Puncak dari hidup adalah mati
Dan puncak dari mati adalah abadi
Sementara Abadi itu adalah hampa dan kosong.

....................................................Adakalanya kita harus tertawa, ada kalanya kita harus menangis. Adakalanya kita bahagia dan adakalanya kita harus bersedih Tak satupun manusia yang bisa memilih kapan saat menangis dan kapan saat tertawa, karena itu...................baik menangis ataupun tertawa adalah satu kesempatan mahal yang tidak boleh kita lewatkan. Sebab, itu yang membuat kita berbeda sebagai manusia. Biarkan saja mata berkaca-kaca dan luapkan saja rasa bahagia, tak perlu menahannya karena pasti akan tersiksa.
 Rasa bahagia dan sedih adalah bahan untuk renungan, betapa singkatnya segala sesuatu di dunia ini. Baru saja semua tertawa bahagia, tiba-tiba kesedihan datang saat mereka pergi dan kita kembali sendiri. Seolah terbuang dan dicampakkan. Beberapa detik yang lalu, ada orang bahagia mendengar kabar anaknya baru lahir. Beberapa detik kemudian, orang itu menangis mendengar kabar, istrinya telah meninggal.
Terkadang hidup ini harus jujur apa adanya, ada saat ketika kita  harus kuat dan tegar, tetapi ada saat ketika kita harus pasrah dan mengalah, ada saat kita harus berani,  ada pula saat ketika kita harus takut. Jika kita tak pernah merasa takut, maka celakalah diri ini. Rasa takut itu penting, karena rasa takut terkadang menjadi penyelamat kita. Rasa berani juga penting, tetapi berani yang berlebihan justru akan mencelakakan kita. Bayangkan jika kita tak pernah merasa takut akan apapun, tentu kita tidak akan banyak berpikir jika disuruh melompat dari gedung atau tebing yang tinggi. Bayangkan jika kita tak pernah merasakan sedih, maka kita tidak akan bisa merasakan nikmatnya rasa bahagia.
Sedih dan bahagia, hanyalah warna kehidupan. Bisa saja sebagai anugerah, bisa juga sebagai ujian, atau sebagai balasan atas apa yang telah kita lakukan..........................................................

JIKA SEBUAH UNGKAPAN PERASAAN ITU
BENAR-BENAR JUJUR DARI DALAM HATI,
MAKA AKAN MUDAH MERASUK KEDALAM HATI YANG LAIN.
JIKA SEBUAH UNGKAPAN PERASAAN ITU
HANYA KEBOHONGAN BELAKA,
MAKA UNTUK MENYENTUH PANCA INDERA SAJA
AKAN TERASA SANGAT SULIT




Sang profesor

.....................Seorang guru besar sedang mengajar para mahasiswanya
Seperti biasa, kelas sang profesor tak pernah sepi
Bahkan ada mahasiswa yang berkali-kali mengambil matakuliah yang sama karena saking cintanya kepada sang profesor yang dikenal jujur, adil dan tak pernah sombong serta selalu mengutamakan kepentingan para mahasiswanya.
Ketika itu sang profesor masih dalam keadaan sakit parah, tapi beliau tetap bersemangat mengajar di kelasnya.
Tubuh dan wajahnya basah oleh keringat dingin yang tak henti-hentinya mengalir.
Semua mahasiswa tidak sadar bahwa sang guru besar itu sedang sakit parah.
Tiba-tiba sang profesor berdiri di tengah kelas dengan kursi rodanya.

“Coba mohon perhatiannya sebentar....!” Ujar sang profesor dengan nada yang sangat lemah.

Semua mahasiswa tiba-tiba terdiam.

“Saudara-saudara sekalian............sungguh sebuah kebahagiaan besar bagi saya melihat saudara sekalian berada di kelas ini, nampaknya perjalanan saya hampir selesai”

Semua mahasiswa masih terdiam dan bertanya-tanya, apa yang dimaksud dari perkataan profesor itu.

“Adalah sebuah kehormatan bagi saya karena sampai detik ini saudara sekalian masih percaya pada saya untuk mengajar................ya.............mengajar orang-orang pilihan yang datang jauh-jauh hanya untuk menuntut ilmu”.

Sang profesor terdiam sejenak kemudian melanjutkan perkataannya.

“Taukah anda....bahwa sesungguhnya ilmu yang saudara pelajari selama ini adalah ilmu dasar yang sangat dangkal dan masih sangat terbatas......................

(Semua mahasiswapun terkejut dan bertanya-tanya dalam hati)

“ Kali ini saya akan menunjukkan pada kalian ilmu yang paling mahal dan tak ternilai oleh apapun di dunia ini”

“Coba..............ada yang tahu ilmu yang saya maksudkan?”

“Ilmu budi pekerti.......!” Jawab seorang mahasiswa.

“Benar sekali jawaban dari saudara, namun bagi saya masih kurang tepat.....................................coba ada yang lain?”

Semua mahasiswa terdiam dan bingung berpikir tentang ilmu yang dimaksud sang profesor.

“ Baiklah saudara-saudara.......sekarang saya akan bertanya lagi tentang sesuatu yang akan memudahkan kalian untuk menjawab pertanyaan saya sebelumnya.......................coba ada yang bisa menyebutkan sesuatu yang  paling jauh di seluruh jagad raya ini?”

Serempak seluruh mahasiswa menjawab secara bergantian.

“Matahari!”

“Bintang!”

“Planet Pluto!”

“Galaksi andromeda!”

“Bukan..........................sesungguhnya masih ada yang lebih jauh lagi, dan disitulah letak ilmu tertinggi yang saya maksudkan” Jawab sang profesor dengan nafas terputus-putus.

“Baiklah saudara-saudara.....................................(sang profesor coba berdiri dari kursi rodanya dan berjalan mendekati para mahasiswa)

“.................Sesungguhnya sesuatu yang  paling jauh itu adalah sesuatu yang tak bisa untuk didatangi, sedangkan semua yang saudara-saudara sebutkan tadi mungkin masih bisa didatangi oleh manusia di kemudian hari. Sesuatu yang paling jauh dan tak mungkin untuk didatangi adalah MASA LALU”

Ooooooughhhh..............(Semua mahasiswa takjub dan tak menyangka bahwa jawabannya tidak terpikirkan sama sekali oleh mereka)

Kembali sang profesor duduk di kursi rodanya

“ Ya....................sesuatu yang paling jauh itu adalah masa lalu dan masa lalu itulah sesungguhnya ilmu yang paling berharga, karena itu jangan sekali-kali mengabaikan masa lalu kita. Masa lalu adalah ilmu tertinggi yang diberikan Tuhan kepada manusia. Maaf meskipun saya bukan seorang muslim, tapi saya tahu.............bahwa nabi Muhammad SAW pernah berpesan............ tuntutlah ilmu meski sampai ke negeri Cina. Saudara-saudara tahu apa yang dimaksud dari pesan itu?”

Semua mahasiswa semakin dibuat bingung dan tak mampu menjawab.

Sang profesor tersenyum kemudian menjawab pertanyaannya sendiri.

“Karena negeri Cina pada jaman nabi adalah tempat paling jauh bagi bangsa Arab, karena itu sesungguhnya ilmu yang paling tinggi itu sebenarnya berada di tempat yang paling jauh dan yang dimaksud adalah MASA LALU!”

Kali ini semua mahasiswa tersenyum karena takjub atas pernyataan sang profesor, sungguh sebuah pesan yang sangat berharga.
 sementara sang profesor menundukkan kepala di kursi rodanya sambil memeluk buku catatan hariannya. Ternyata beliau baru saja wafat beberapa detik yang lalu.



SENI SEBAGAI PEMBANGKIT IMAJINASI

Apa yang membuat seseorang mampu berpikir kreatif, inovatif dan begitu mengejutkan atau bahkan menggemparkan?
Bagaimana seseorang bisa berani melompati tembok-tembok kenyataan di masanya saat itu, sampai-sampai orang lain menganggapnya sebagai orang gila?
Bagaimana seseorang bisa melakukan hal-hal yang sebelumnya dianggap “mustahil” dan “tak masuk akal”, namun setelah terwujud akhirnya dipuji dan dibangga-banggakan?
Kekuatan apakah itu......................?
Jawabannya adalah “Imajinasi, khayalan atau mimpi”
Benarkah..............?
Ya memang begitu kenyataannya, misalnya manusia bisa terbang, bisa keluar angkasa bahkan mendarat di bulan, bukankah itu semua berawal dari imajinasi atau mimpi para ilmuwan?
Manusia  awalnya tinggal di    gua-gua, lalu bermimpi untuk mendirikan rumah, mendirikan desa, membangun kota, sampai berimajinasi untuk membangun sebuah kerajaan yang besar. Terwujudlah mimpi-mimpi itu sampai tercipta suatu tatanan masyarakat yang lebih kompleks dan rumit berupa kota, kerajaan, imperium, negara  sampai pada akhirnya muncullah mimpi mengerikan kaum “Fasis” untuk menjadi satu-satunya bangsa penguasa dunia atau lahirnya impian besar bangsa Jepang yang ingin menjadi “Cahaya Asia” hingga   menciptakan perang terbesar sepanjang sejarah yakni perang dunia ke-2  yang akhirnya diakhiri juga dengan mimpi negara Amerika untuk menciptakan bom yang maha dahsyat “Bom atom” yang mematikan itu.
Ya.......begitu besarnya kekuatan mimpi seseorang dalam mempengaruhi peradaban..
Awalnya hanya angan-angan belaka, namun jika diwujudkan maka begitu mengejutkan dan menggemparkan . 
Semua kehidupan di bumi ini sebenarnya  berawal dari imajinasi.
Manusia yang penuh imajinasi, maka akan menjadi manusia yang kreatif pula. Mereka akan terus mencari, meneliti dan menemukan hal-hal yang baru. Dari hal-hal yang bermanfaat sampai hal-hal yang menghancurkan.
Sebaliknya, manusia yang tak pernah atau memang tak mau untuk berimajinasi, tentu Ia akan menjadi manusia “stagnan” yang sulit untuk berkembang.
Kita bisa belajar dari bangsa kita sendiri, bagaimana lamanya bangsa Indonesia dijajah oleh kaum-kaum penjajah yang penuh impian untuk menguasai tanah nusantara. Mengapa selama itu, bangsa kita seolah hanya pasrah menerima keadaan, tanpa berbuat sesuatu? Tentu saja semua itu dikarenakan bangsa kita pada saat itu belum memilki orang-orang yang memilki impian untuk mengusir para penjajah
Beruntung kita masih punya orang-orang yang punya impian bagus seperti “Tengku Umar”, “Cut Nyak Dien”, “Patimura”, “Pangeran Diponegoro” sampai akhirnya lahirlah tokoh besar seperti Sukarno-Hatta dan kawan-kawan yang memilki impian besar untuk memerdekakan bangsa Indonesia.
Jadi.............manusia memang butuh impian, khayalan atau imajinasi. Karena itu manusia butuh seni, sebab melalui seni imajinasi manusia dinomor satukan, dimanjakan, dibangkitkan sampai akhirnya dilahirkan hingga terciptalah imajinasi baru yang jauh lebih bagus dan menghujam kenyataan-kenyataan yang ada.
Oleh karena itu tidak ada negara maju yang mengabaikan seni, karena seni adalah pembangun peradaban. Semakin maju suatu peradaban, maka semakin besar pula penghargaan terhadap seni diberikan oleh peradaban itu.
Tak dapat dipungkiri, seni selain diayomi oleh negara terkadang juga sangat ditakuti, terutama di negara-negara otoriter. Karena seni dianggap sebagai ancaman bagi para penguasa yang tidak menginginkan rakyatnya memilki impian-impian  yang “muluk-muluk”. Para penguasa itu takut jika karya seni yang “kritis” itu dibiarkan, akan mempengaruhi rakyat sehingga pada akhirnya rakyat akan memiliki impian-impian yang mengancam kekuasaan sang penguasa.
Lihatlah beberapa kenyataan, betapa banyak karya sastra yang saat ini diakui sebagai karya-karya yang bernilai tinggi karena  dianggap sebagai pembangun pemikiran, dulu dilarang keras beredar. Pembuatnya dihukum, dipenjara bahkan dilenyapkan.
Ya...kadang seni memang terlihat mengagungkan atau kadang juga menakutkan.
Bukankah budaya “carok” di bumi Madura itu sedikit banyak dipicu oleh karya-karya sastra seperti “Pangeran Cakra Ningrat”,“Joko Tole”, “ Pangeran Trunojoyo” atau “Sakera” yang menceritakan kisah kepahlawanan, kegagahan, keberanian dan ketinggian dari sebuah harga diri. Hingga membuat masyarakat Madura juga terinspirasi untuk menjadi seperti tokoh yang diceritakan?, atau coba kita perhatikan perang Aceh yang berlangsung cukup lama dan memakan banyak korban jiwa itu sebenarnya juga dipengaruhi oleh karya sastra “Hikayat perang sabil”, yang menceritakan tentang keutamaan perang.
Ternyata begitu kuatnya pengaruh seni dalam peradaban manusia, karena seni-lah yang membuat manusia memilki impian-impian, khayalan atau imajinasi. Dan dari imajinasi itu akan lahir cita-cita, semangat dan kekuatan untuk mewujudkan segala yang telah diimpikan.


KETIKA MATA MEMANDANG TOGA
 
Sangat menarik ketika menyaksikan upacara wisuda yang terkesan begitu khidmat dan sakral. Ratusan bahkan ribuan orang menghadiri saat-saat paling penting dalam hidup mereka. Baik orang tua, para wali, atau para wisudawan sendiri, semua terlihat begitu senang dan bahagia dalam suasana yang haru. Para wisudawan memakai toga hitam dan topi hitam yang bermacam-macam bentuknya, ada yang segiempat, segilima, lingkaran atau berlekuk-lekuk dengan kuncir atau tali yang menjuntai ke bawah. Semua mata memandang toga yang berbaris rapi menunggu giliran dikalungi selempang, dan diberi ijazah oleh pejabat tinggi Universitas. Tampak mata yang berkaca-kaca, bahkan ada yang deras mengucurkan air mata.
Di UGM (Universitas Gajah Mada), upacara wisuda disertai pembacaan ayat-ayat suci, himna almamater atau ikatan alumni, dan lagu minum anggur Gaudeamus igitur yang dinyanyikan dengan tempo seperti di Eropa, tetapi sebagai lagu melankolis yang mendayu-dayu. Tarian tradisional, paduan suara, atau konser musik klasik turut menyemarakkan suasana. Wisudawan menekukkan lututnya atau berlutut di depan podium dan ditaburi dengan bunga-bunga atau beras. Kemudian, acara puncak dari upacara wisuda adalah memindahkan kuncir di topi para wisudawan, dari kiri ke kanan. Seolah-olah sebuah lambang penjinakan, ketika masih mahasiswa mereka kiri, liar dan radikal, tetapi setelah menjadi sarjana mereka kanan, lurus dan konservatif.
Di Amerika Serikat, toga sudah dipakai untuk upacara wisuda di sekolah lanjutan. Bangsa Indonesia sendiri, sebenarnya mengenal toga dari warisan bangsa Belanda, dimana pada waktu itu toga dipakai khusus untuk guru besar saja. Namun karena budaya meniru terhadap bangsa barat begitu kuat, maka toga juga mulai dipakai oleh dosen, dekan dan para wisudawan seperti di negeri Inggris. Pada tahun 1980-an, toga diberi tepi berwarna-warni sesuai dengan warna fakultas.
Menurut Prof. Dr. T. Jacob (mantan guru besar UGM), toga sebenarnya adalah busana Romawi kuno, yang diambil dari kebudayaan Etruska, dimana pada awalnya dipakai oleh laki-laki dan perempuan dari segala lapisan. Kemudian, toga hanya dipakai oleh laki-laki saja dari lapisan atas. Setelah itu, toga hanya dipakai oleh pejabat-pejabat pemerintah, universitas, dan gereja. Toga asli berdiameter 2 m dan panjangnya tiga kali tinggi badan pemakainya. Toga biasanya berwarna hitam dan bertepi ungu. Warna-warna ini menunjukkan pangkat atau jabatan seseorang. Di negeri Belanda, calon pegawai negeri memakai toga putih (toga candida) ketika ujian, sehingga disebut sebagai kandidat. Sarjana muda disebut kandidatus. Namun, pada tahun 1968, terjadi revolusi mahasiswa barat, tepatnya “pemberontakan busana”. Para mahasiswa menuntut dihapuskannya kewajiban memakai toga, karena gaya berpakaian dianggap hak asasi. Akhirnya toga jarang dipakai lagi di barat, bahkan di Jerman saat ini para guru besarpun tidak bertoga lagi.
Di Indonesia, budaya memakai toga masih tetap dilestarikan. Sekalipun tidak lagi cocok dengan iklim tropis di Indonesia yang panas. Sehingga banyak para wisudawan yang merasa kepanasan ketika upacara wisuda berlangsung. Bahkan budaya memakai toga di Indonesia telah merambah di tingkat sekolah kanak-kanak. Di Kalimantan Selatan, wisuda kanak-kanak usia 5 tahun sudah pernah di lakukan.
Di balik upacara wisuda yang khidmat dan sakral itu, ada mata yang berkaca-kaca. Mata seorang ibu yang bangga dan terharu ketika memandang putera-puterinya telah menyandang gelar sarjana, di dalam mata ibu itu tersimpan sebuah harapan baru bagi putera-puterinya yang bersiap menyongsong masa depan.
Namun ada juga mata yang deras mengucurkan air mata kesedihan. Mata ibu pertiwi dan mata para budayawan yang menangis sedih ketika menyaksikan putera-puterinya dengan bangga mengenakkan atribut bangsa lain, melestarikan budaya bangsa lain dan menanggalkan atribut dan budaya bangsa sendiri. Ada kekecewaan ketika mata itu memandang toga di upacara wisuda. Inilah puncak dari budaya meniru yang paling fatal bagi bangsa Indonesia.
Bukankah lebih baik jika para wisudawan hanya memakai pakaian biasa dan mengenakkan jas almamater saja, sebagai tanda kebanggaan dan penghargaan pada universitas tempat Ia ditempa. Selain itu, juga sebagai lambang kesederhanaan kaum intelek, seperti filosofi padi yang semakin berisi semakin menunduk. Tak perlu lagi ada pemindahan kuncir dan antri menunggu giliran untuk berjabat tangan dengan guru besar yang sama sekali tidak ada gunanya dan hanya membuang-buang waktu saja. Lebih baik jika guru besar itu menyemangati para wisudawan dengan pesan-pesannya atau cerita tentang perjuangan hidupnya agar menjadi inspirasi bagi para wisudawan dalam menghadapi kehidupan nyata di masyarakat. Kehidupan yang jauh berbeda dari teori-teori yang selama ini mereka pelajari.
Bangsa yang terbelakang memang banyak meniru bangsa barat yang maju, tetapi apa yang baru saja diuraikan ini adalah titik puncak dari budaya peniruan yang sangat fatal. Sebab kaum intelek adalah orang-orang yang dianggap sebagai kaum perintis dan pendobrak di masyarakatnya. Bagaimana jika para perintis dan pendobrak itu adalah kaum peniru yang ulung? Tentu saja masyarakatnya akan menjadi generasi peniru yang lebih ulung lagi.
Dua kali dalam setahun, bahkan mungkin ribuan kali dalam setahun, mata ibu pertiwi dan mata para budayawan selalu deras mengucurkan air mata kesedihan setiap kali memandang toga dikenakkan oleh putera-puteri bangsa, berharap supaya peniruan fatal ini cepat diakhiri.
Kita bisa belajar dari bangsa Jepang yang selalu bangga dengan budayanya sendiri dan tidak mau banyak meniru budaya bangsa lain. Dari dulu, bangsa Jepang tidak pernah mengenakkan toga. Dan merekapun menjadi bangsa maju yang dihargai oleh bangsa lain.



UNTUK APA KITA HIDUP

I.E.S Dharma


"Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat,- agar sebagian mereka dapat menggunakan sebagian yang lain." (QS 43:32)

Ayat ini mengisyaratkan tentang kenyataan kerja sama, yang di dalamnya sebagian individu memiliki kelebihan atas sebagian lain dalam segi tertentu kehidupan, sehingga setiap individu mempunyai tingkat kehidupan yang berbeda. Masing-masing mendominasi yang lainnya dan memanfaatkan mereka untuk kepentingan-¬kepentingannya. Dengan demikian, sebenarnya Allah sudah menentukan siapa saja yang akan menjadi pemimpin dan penguasa, siapa saja yang akan menjadi miskin atau kaya, siapa saja yang akan menjadi pandai atau bodoh. Jadi sungguh celaka dan takabur, jika ada diantara kita yang menyangka bahwa menjadi penguasa, kaya atau pandai itu semua adalah hasil kerja keras kita saja. Sebab Allah sudah jelas sekali menegaskan dalam ayatnya (QS 43:32) di atas bahwa siapa kita dan untuk apa kita diciptakan sudah ditentukan oleh Allah SWT.
Janganlah terlalu berangan-angan atau mengkhawatirkan masa depan hingga kita lupa akan hari ini, karena masa depan itu belum terjadi. Hadapilah hari ini karena hari ini adalah nyata dan sedang terjadi. Jalanilah selalu hari ini dengan sebaik-baiknya, maka masa depan dengan sendirinya akan datang dengan baik juga.
Terlalu banyak berangan-angan dan mengkhawatirkan masa depan, itu adalah salah satu ciri-ciri kaum munafik, karena semua itu adalah salah satu jebakan dari syetan yang selalu ingin menjerumuskan manusia agar manusia hidupnya selalu merasa was-was dan penuh ketakutan sehingga melemahkan iman yang berujung pada perasaan putus asa pada nikmat ALLAH SWT .


APA YANG KITA CARI DALAM HIDUP

Seringkali kita menginginkan hidup sukses, sukses dalam melakukan segala hal dalam hidup ini. Kita selalu ingin berhasil dalam setiap usaha yang kita lakukan, semua ingin menjadi kaya dan memiliki derajat yang tinggi di lingkungan sosialnya. Tetapi seandainyapun semua keinginan kita itu bisa tercapai, dan bisa merasakan hidup “sukses” bergelimang harta, punya kekuasaan dan mendapatkan derajat yang tinggi di mata masyarakat karena kesuksesan yang kita raih. Pada akhirnya kita pasti menanyakan kembali apa arti sukses itu sendiri.
Hidup kaya raya dengan segala kelimpahan materi dan kekuasaan? Itu tidak menjamin kita hidup bahagia. Pada kenyataannya banyak sekali orang-orang “kaya” yang hidupnya miskin, miskin kebahagiaan. Hidupnya monoton seperti sebuah mesin, bangun pagi, kerja, pulang sore atau larut malam, berkumpul dengan keluarga kalau sempat, tidur, esok bangun pagi lagi, kerja lagi dan begitu seterusnya. Hidupnya hanya untuk kerja dan kerja, pikirannya hanya uang dan uang. Lupa bahwa kita hidup ini tidak hanya untuk kerja seperti mesin, kerja hanya untuk memenuhi kebutuhan kita bukan untuk memenuhi nafsu kita. Kita hidup harus memiliki tujuan agar kelak jika kita mati kita tidak hidup sia-sia, nama kita tidak hanya sekedar barisan huruf-huruf saja, tulang belulang kita yang terkubur bukan seperti tulang belulang binatang, makam kita bukan sekedar gundukan tanah, dan semua yang kita tinggalkan kelak akan menjadi sesuatu yang sangat berguna, bernilai dan berharga sepanjang masa.
Yang kita cari dalam hidup ini bukankah kebahagiaan? Lalu kebahagiaan yang seperti apa, kebahagiaan semu ataukah kebahagiaan sejati? karena kebahagiaan itu sama sekali tidak bisa dibeli dengan materi atau harta seberapapun banyaknya, seandainya bisa kita membeli kesenangan seperti membayar untuk sesuatu yang bisa menghibur kita atau membeli sesuatu yang bisa menyenangkan hati kita, percayalah itu semua hanya bersifat sementara saja. Itu hanya kebahagiaan semu, kebahagiaan yang menipu.
Hidup dengan kebahagiaan sejati itulah arti “sukses yang sebenarnya”, hidup bahagia tanpa kepenatan, beban pikiran dan perasaan was-was. Meskipun hidup sederhana atau miskin sekalipun, tapi jika bahagia dalam menjalani hari demi hari, penuh berkah dan rasa syukur, itu jauh lebih berharga daripada hidup kaya raya tapi penuh dengan kecemasan, kepenatan, kesibukan yang tiada henti, dan kebahagiaan yang semu.
Rahasia hidup bahagia adalah hidup membahagiakan orang lain sekalipun kita harus berkorban untuk itu, hidup banyak memberi daripada banyak menerima, hidup banyak bersyukur daripada hidup banyak mengeluh, yang penting kita harus bisa hidup berguna bagi orang lain dan dibutuhkan oleh orang lain niscaya kebahagiaan itu akan terpancar dengan sendirinya dari dalam jiwa kita, memancar begitu terang menyinari jiwa orang-orang di sekitar kita sehingga mereka selalu merasa bahagia, tenang, dan damai setiap kali berada dekat dengan kita. Hidup seperti itulah hidup “sukses” yang sebenarnya.

LEBIH BAIK HANCUR TAPI BERGUNA, DARIPADA TERANG TAPI TIDAK BISA MENERANGI

0 komentar: